Aku melihatmu dengan sembunyi-sembunyi. Aku tahu, kamu pun. Pertemuan siang ini kan bukan tanpa sebab. Bukannya kita sudah sering merencanakannya namun selalu gagal. Entah karena aku kehilangan kunci mobil, hujan badai, atau beberapa meeting dadakan yang tak bisa ditinggalkan. Lalu siang kemarin aku coba membuat janji lagi ketika kau kirimkan pesan “ngopi yuk”. Aku pikir karena aku menyukai seseorang maka hal yang tidak aku suka menjadi hal yang harus sering aku lakukan, mencoba ngopi. Kopi hitam pahit? Aku tidak menyukainya bukan tanpa sebab. Minuman ini aku hindari karena aku harus menjaga alat pencernaanku sampai tua. Jika aku masih ingin makan dan kenyang untuk bertahan hidup.
Aku merubah kebiasaan ngopi dengan menyeduh teh di pagi hari, atau memanaskan coklat ketika hujan turun. Hanya itu. Lalu kecintaan terhadap kopi menjadi kembali seiring dengan kecintaanku padamu. Aku mengenalmu atau kau mengenalku juga bukan tanpa sebab, bukan karena hal yang tidak disengaja. Bukannya semua sudah terencana? Kecuali hujan ketika kita bertemu atau perkelahian kita dulu yang kemudian memisahkan hubungan yang mulai erat hanya karena diskusi “Tuhan” menurutku dan menurutmu. Tuhan menurutmu sebagai orang yang mencintai kopi, atau tuhan menurutku sebagai orang yang mencintaimu. Ini berbeda? Jelas. Bisa kau tanyakan kepada dirimu sendiri. Lalu kirimkan padaku jawabannya.
Siang ini, aku memulai suasana yang dulu sempat terbangun karena Tuhan dan kopi kemudian hilang karena Tuhan dan juga kopi. Perpisahan dahulu terasa pahit seperti kopi, kemudian pertemuan kembali terasa manis seperti kopi yang bagi para pecintanya pasti meninggalkan rasa manis walau sedikit, atau mungkin habis pahit terbitlah manis. Bahkan aku tak pernah bisa merasakannya. Kau bilang padaku siang ini jika aku tak mau pergi, kau tak harus pergi di tengah hujan deras seperti ini. Harapku sih seperti itu, nyatanya kau bilang “sudah mau pergi? Yasudah hati-hati, aku masih mau di sini”. Aku Cuma mengangguk kemudian benar-benar pergi ditelan hujan deras. Sepanjang jalan aku berpikir, apa iya kopi itu manis?tidak. atau apa iya para pecintanya hanya berpura-pura merasakan manis di persekian persen yang sangat sedikit itu?
Yang aku tahu dari pertemuan siang ini, aku jadi tak suka kopi lagi otomatis aku jadi tak jadi jatuh cinta kepadamu lagi. Aku tak pernah bisa menebak perasaanmu sedari dulu. seharusnya kau tak perlu bahasa kode kepadaku. Perasaanmu itu terlalu hitam, gelap. Mana mampu aku tahu atau sekedar melihat-lihat? Lalu bagaimana bisa aku membaca peta hatimu? Kemudian aku tersesat, putus asa kemudian lebih baik aku pergi dengan hujan deras membiarkanmu menyangka aku tak peduli perasaanmu. Kan itu lebih baik. Ketimbang harus tersesat.
“Perempuan: Bukannya aku tak tahu apa maksud rasa dan logika. Aku hanya berhati-hati agar tak salah mengartikan, merasakan, memikirkan, juga menuliskan peta hatimu. Peta hati yg rumit juga gelap. Tak kuketahui. Apa yang bisa diperbuat? selain memilih banyak diam untuk terus mengartikan hingga batas tak wajar, mata sulit pejam, otak padam dan hati remuk redam. Kenapa kau buat sesulit itu. Tak tahukan kau, aku sedang tak tahu di mana berada? “
“Laki-laki: Sepertinya saya percaya kalau perempuan itu tidak ditakdirkan untuk bisa membaca peta. yang saya tahu, perempuan itu bisa membaca peta, tapi mereka lebih sering membiarkan diri mereka tersesat. tersesat di hati para lelaki. Hati laki-laki itu petanya bisa terbaca, hanya saja banyak rambu-rambunya. Diblokir di sana-sini, tidak mudah untuk dimasuki. Tidak ingin juga dikatakan sensitif atau sentimentil. Lebih baik pasang tampang gahar dan dingin agar remuk redam”.
“Perempuan: Bagimana tidak tersesat. Laki-laki itu bisa menggendong rembulan dan mengantongi bintang-bintang untuk perempuan nya. Yah, kujatuhkan dan kusesatkan saja diri ini”.
“Laki-laki: amat sulit dijelaskan dalam sebuah tulisan karena sifatnya yang hanya dapat dirasakan dalam kelembutan rasa pula. Benar-benar butuh perenungan yang kejernihan hati untuk membahas mengenai ketertarikan hati dalam makna cinta yang sejati”.
“Perempuan: Kau itu selalu membuatku bingung dan mengerti belakangan”.
Aku sudahi membaca salah satu cerpen di majalah siang ini, aku lihat lagi jam tangan. Aku ingat ada janji pukul satu, di kedai kopi pojok jalan. Kunci mobil sudah aman, hujan juga tak menunjukkan akan badai, aku pun tak akan bilang bahwa cinta itu sepahit kopi, dan biar saja aku tersesat nantinya.